#

Minggu, 23 April 2017

Usia dan Kebijaksanaan

Bicara tentang usia adalah bicara tentang kesempatan untuk belajar. Semakin bertambah usia kita, semakin bertambah pula waktu belajar kita. Perjalanan waktu mengajarkan bagaimana kita harus berjalan membersamai roda kehidupan yang terus berputar. Kadang roda itu berada di atas, kadang di bawah, kadang menemui jalan yang mudah, kadang terjal dan berliku. Semua perjalanan itu pada akhirnya akan membentuk pengalaman kita. Dan pengalaman adalah guru terbaik sepanjang masa. Semakin jauh kita berjalan, semakin banyak pula pengalaman hidup yang terekam dalam diri kita.  
Oleh karenanya, semakin bertambah usia kita, seharusnya semakin bertambah pula kebijaksanaan kita. Bijaksana adalah ketika kita mampu bersikap adil, yaitu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Apa yang akan kita lakukan ketika ada anak kecil yang menangis pada saat kita sedang konsentrasi membaca buku? Jika kita mengambil sikap marah kepadanya, kemudian memarahi dan membentak anak tersebut karena kita anggap mengganggu, maka kita belum bisa disebut sebagai orang yang bijaksana. Mengapa? Karena kita belum mampu menempatkan kemarahan kita pada tempatnya. Kita seharusnya menempatkan kemarahan kita pada perbuatan-perbuatan tercela. Kita marah ketika melihat seseorang membuang sampah sembarangan. Kita marah ketika melihat orang mengambil barang orang lain tanpa ijin. Sedangkan, tangisan anak kecil bukanlah hal yang tercela. Tangisan anak kecil adalah bahasa lain dari keinginan yang belum bisa disampaikannya dengan kata-kata. Seharusnya kita bersikap kasih sayang kepadanya. Bukan justru memarahinya.
Setiap saat kita bertemu dengan peristiwa-peristiwa baru, orang-orang baru, dan masalah-masalah baru yang pada akhirnya melahirkan pengalaman baru.  Semua pengalaman itu seharusnya mengasah jiwa kita. Sehingga, semakin hari kita menjadi semakin bijaksana. Akan tetapi, mengapa ada orang yang sudah berusia matang, namun sama sekali belum bijaksana? Jawabannya adalah karena orang tersebut tidak mau mengambil pelajaran dari pengalaman hidupnya. Orang tersebut tentu sudah banyak belajar. Namun Ia tidak mau mengambil nilai-nilai yang dipelajarinya sebagai sebuah cara pandang yang mengubah sikapnya. Padahal, kebijaksanaan lahir dari akumulasi proses belajar dan mengambil pelajaran dari kehidupan yang kita lewati.
Ketika kita bersikap sombong kepada orang lain, maka orang lain tidak akan senang kepada kita. Hal tersebut membuat kita belajar bahwa ternyata sikap sombong akan menghasilkan penolakan. Artinya, hukum yang sebaliknya juga berlaku; sikap ramah akan menghasilkan penerimaan.  Setelah mengetahui hukum sebab-akibat tersebut, ada orang yang tetap sombong, ada yang mengambil pelajaran lalu berubah sikap menjadi ramah. Orang pertama adalah orang yang hanya belajar. Sedangkan orang kedua adalah yang mampu mengambil pelajaran dari pengalaman yang dilewatinya. Kebijaksanaan lahir karena proses belajar dan mengambil pelajaran. Oleh karena itu, sikap bijaksana tidak lahir secara otomatis seiring bertambahnya usia kita. Ia lahir karena kita yang membuatnya lahir.
Maka, pengalaman harus benar-benar kita jadikan sebagai maha-guru. Agar perjalanan waktu selalu meninggalkan jejak-jejak kebaikan. Jejak-jejak yang menjadi saksi bahwa kita selalu belajar dan berbenah menjadi pribadi yang semakin baik dari hari ke hari. Agar semua rangkaian peristiwa yang kita lewati selalu menjadi ilmu baru yang mengasah kebijaksanaan kita. Sehingga, tidak ada hari yang kita lewati, kecuali hari itu adalah hari yang membuat kita semakin baik pada hari berikutnya. Tidak ada tahun yang kita lewati, kecuali tahun itu adalah tahun yang meningkatkan kualitas diri kita pada tahun-tahun berikutnya. Kuncinya ada pada dua hal: mau belajar, dan mengambil pelajaran dari apa yang kita pelajari. Agar perjalanan usia kita tidak berlalu sia-sia. *** Sumber: Islamic Building: Konstruksi Dasar dalam Bangunan Studi Islam, Pustaka Senja 1, 205 | vol: | issue : | 2018

Senin, 08 Agustus 2016

Setengah Berdiri

Sekitar pertengahan tahun 2011, saya mendampingi murid-murid saya mengikuti pelatihan kepemimpinan di salah satu gedung di Yogyakarta. Ketika acara sudah dimulai, ada beberapa peserta yang datang terlambat.  Mereka tergopoh-gopoh memasuki ruang kelas sambil mencari kursi kosong di bagian tengah. Karena dirasa mengganggu suasana, instruktur acara menegur mereka dan memberi mereka hukuman yang menurut saya unik. Mereka diminta berbaris di bagian belakang kelas dalam posisi setengah berdiri.
Unik, karena hukuman itu tidak biasa dilakukan. Dan ternyata, posisi setengah berdiri memang sulit dilakukan. Dalam beberapa hitungan saja, beberapa peserta yang dihukum terjatuh karena  kehilangan keseimbangan. Sebagian lagi tampak meluruskan badannya karena merasa pegal terlalu lama dalam posisi setengah berdiri. Ternyata, posisi setengah berdiri jauh lebih melelahkan ketimbang benar-benar berdiri. Kita bisa mengikuti upacara bendera dengan berdiri selama satu jam penuh, tapi bisakah kita membayangkan berapa lama kita mampu bertahan jika diminta berada dalam posisi setengah berdiri?
Bukan hanya setengah berdiri saja yang melelahkan. Semua hal, jika dilakukan setengah-setengah, ternyata jauh lebih menguras energi dibanding jika kita mengerjakannya dengan sepenuh hati. Seperti, ketika mengerjakan tugas kuliah. Jika kita mengerjakannya dengan bermalas-malas dan perasaan terpaksa, selain hasilnya tidak maksimal, tingkat kelelahan fisik dan emosi kita juga lebih tinggi. Toh, dikerjakan dengan terpaksa ataupun sepenuh hati,  tugas kuliah tetap harus dikumpulkan.
Pernah ada seorang mahasiswa yang bercerita kepada saya. Suatu hari, dia mendapat tugas membuat makalah dari dosennya. Kendati dia sangat paham bahwa dosennya sangat keras dan tidak akan segan-segan mencoret nama mahasiswa yang ketahuan melakukan plagiasi, dia tetap saja melakukan plagiasi. Supaya tidak ketahuan, dia meng-copy paste tulisan dari berbagai makalah sejenis, lalu dia susun ulang menjadi sebuah makalah yang seolah-olah orisinil. Mahasiswa itu mengatakan kepada saya, ternyata proses menyusun makalah dengan cara plagiasi seperti itu tidak sederhana. Dia harus menyesuaikan jenis dan ukuran font, margin, sampai dengan menyisipkan kata penghubung antar kalimat dan paragraf. Hasilnya, waktu yang dibutuhkan ternyata sangat lama dan ribet. Waktu yang dia gunakan untuk melakukan plagiasi itu sebenarnya sangat cukup untuk menulis makalah secara orisinil, dengan hasil yang jauh lebih baik.
“Kerjakan dengan maksimal, atau tidak usah dikerjakan sama sekali”. Kurang lebih, itulah kesimpulan dari bab ini, jika harus dirangkum dalam satu kalimat. Agama mengajarkan kita untuk melakukan segala sesuatu dengan ikhlas, yaitu dengan hati yang lapang, yang jauh dari sikap menggerutu. Kita harus tegas kepada diri kita sendiri. Jika kita ragu-ragu untuk melakukan sesuatu, ada baiknya kita berpikir ulang sebelum mengambil keputusan untuk tetap mekakukannya atau tidak. Jika kita memutuskan untuk melakukannya, maka kita harus melakukannya dengan sepenuh hati. Jangan setengah-setengah. Karena, dunia hanya akan mengakui dua hal; pemenang, atau pecundang. ***

Kafe Obamb, 8 Agustus 2016, 20:29 WIB

Rabu, 03 Agustus 2016

Memutar Roda Berkarat


“Sesungguhnya kesabaran adalah pada benturan pertama”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Memulai sesuatu yang baru ibarat memutar roda yang berkarat. Di awal pasti terasa berat. Namun ketika roda sudah berhasil diputar, kita tidak perlu mengeluarkan banyak energi lagi untuk memutarnya kembali. Sama seperti ketika kita mendorong mobil yang mogok. Pada dorongan pertama akan terasa berat karena kita baru mulai memberi gaya untuk membuat roda mobil menggelinding. Ketika roda mobil sudah perlahan menggelinding, maka dorongan berikutnya jauh lebih ringan.
Hukum “memutar roda” tersebut berlaku untuk banyak hal dalam hidup kita. Seperti, ketika kita ingin mencoba merutinkan lari pagi. Jika kita belum terbiasa lari pagi, membangkitkan semangat untuk bangun di pagi hari ketika badan masih diselimuti kantuk adalah suatu hal yang sulit.  Pada titik awal yang sulit inilah komitmen kita diuji. Apabila kita berhasil melawan rasa malas dan membakar semangat kita untuk menembus dinginnya udara pagi, maka sesungguhnya kita telah berhasil melewati ujian terberat itu. Pada hari-hari berikutnya, perasaan berat untuk melakukan lari pagi akan semakin berkurang, dan pada akhirnya mungkin lari pagi justru menjadi aktifitas rutin yang kita lakukan dengan riang gembira.
Hal terberat dalam melakukan sesuatu adalah pada saat kita baru memulai. Di situ lah terletak  ujian kesabaran yang sesungguhnya. Sabar bukan berarti pasrah dan pasif menerima apa adanya. Sabar adalah bertahan untuk tetap menjaga semangat kerja dalam situasi sulit. Sabar adalah bertahan untuk tetap berkarya di tengah situasi yang “menggoda” kita untuk putus asa dan  berhenti berkarya. Orang yang sabar adalah orang yang tetap menulis, meskipun rasa malas selalu menghantui, yang tetap mencoba untuk terus bangkit, meski jatuh berkali-kali, yang tetap berjuang meraih mimpi-mimpi, meski harus melewati padang pasir kegagalan.  
Di dalam Al Quran surat Al Ashr dikatakan bahwa semua manusia pasti merugi, kecuali jika melakukan empat hal, yaitu beriman, berbuat baik, saling menasehati di dalam kebenaran, dan saling menasehati di dalam kesabaran. Kata “kesabaran” di dalam surat tersebut dihubungkan dengan iman, berbuat baik, dan kebenaran. Artinya, sabar adalah konsistensi dalam beriman, yang berarti meyakini sepenuhnya bahwa kekuasaan Allah jauh lebih besar dari masalah-masalah hidup yang seringkali membuat kita putus asa dalam melakukan kebaikan-kebaikan.
Setiap orang memiliki jatah gagal. Semakin sering kita mengalami gagal, semakin berkurang jatah gagal kita. Orang-orang yang saat ini berada di puncak kesuksesan, dalam bidang apapun, adalah mereka yang gigih memperjuangkan mimpi-mimpinya meskipun berkali-kali menelan pahitnya kegagalan. Ketika kita ingin meneladani kesuksesan seseorang, jangan lihat pada bagaimana mereka menjalani hidup ketika sudah sukses, tapi lihatlah apa yang dilakukan orang tersebut pada masa-masa sulit dalam hidupnya. Ada satu ungkapan menarik dalam pidato Anis Matta, mantan wakil Ketua DPR RI periode 2009-2013, pada saat dia mengutip ucapan Presiden Bosnia di tengah perang melawan Serbia, “yang akan memenangkan pertempuran bukan yang paling banyak membunuh lawan, tapi yang lama bertahan”. Artinya, keberhasilan bukan milik orang yang kuat, tapi milik yang bersabar. ***

Kafe Obamb, 3 Agustus 2016

Senin, 01 Agustus 2016

Lingkaran Kecil Hidup Kita

Suatu hari, saya menangani seorang siswa bermasalah. Siswa tersebut kedapatan merokok di sekolah. Dalam aturan sekolah, merokok termasuk dalam kategori pelanggaran berat. Berkali-kali saya memanggilnya ke kantor untuk memberinya konseling. Akan tetapi, hasilnya nihil. Anak tersebut tetap mengulangi perbuatannya meski sudah berkali-kali mendapatkan teguran, bahkan sanksi. Belakangan, saya baru mengetahui bahwa ternyata ayah dari anak tersebut adalah seorang perokok aktif. Sejak saat itu, saya pun menjadi paham alasan mengapa sangat sulit mengajarkan anak tersebut berhenti merokok, karena lingkungan keluarganya pun tampaknya “mengizinkannya” merokok. Atau, setidaknya, tidak memandang rokok sebagai sesuatu yang terlarang.
Cerita di atas adalah contoh bagaimana nilai-nilai yang ada dalam keluarga akan membentuk karakter dan berbuah pada perilaku kita. Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa kepribadian seorang anak sedikit banyak terbentuk dari bagaimana dia dididik di keluarganya. Memang, tidak semua hal merupakan produk pendidikan keluarga. Lingkungan tempat kita tumbuh, seperti sekolah dan masyarakat, turut memberikan kontribusi dalam membentuk kepribadian kita. Namun, untuk hal-hal yang fundamental, seperti keyakinan dan prinsip hidup, keluarga tetap memiliki pengaruh signifikan.
Keluarga adalah lingkaran kecil tempat kita tumbuh, berkembang, dan mencurahkan segala suka duka dalam melewati pahit manisnya kehidupan. Keluarga ibarat sebuah bahtera dimana kita berlayar mengarungi samudera luas bernama kehidupan. Kita harus mampu menjadikan keluarga sebagai sebuah rumah dimana kita merasa teduh di dalamnya. Meskipun, kadang ada perbedaan pendapat antara kita dengan anggota keluarga lainnya, namun keutuhan keluarga tetap harus terjaga seperti sebuah pohon yang akarnya kokoh menghujam bumi, yang tetap berdiri tegak meski diterjang angin.
Di dalam keluargalah sebagian besar waktu kita habiskan. Apabila keluarga kita bisa menjadi seperti taman hijau yang indah, maka “modal kenyamanan” itu akan menjadi kekuatan bagi jiwa kita dalam berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas. Sebaliknya, jika keluarga tidak stabil, mungkin karena terlalu sering terjadi pertengkaran di dalamnya, atau kurang terbangun komunikasi yang baik antara anggota keluarga yang kemudian melahirkan banyak pertikaian, keluarga seperti itu ibarat sebuah perahu yang berlubang di tengah lautan. Kita akan menghabiskan banyak waktu untuk menambal lubang pada perahu agar tidak tenggelam, sehingga tidak sempat berpikir untuk mendayungnya menuju pulau impian.
Keluarga yang baik memang tidak serta merta menjamin kesuksesan seseorang. Ada juga orang yang justru tumbuh menjadi orang hebat meskipun dibesarkan di keluarga yang broken. Tapi, bagaimanapun juga, keharmonisan dalam keluarga adalah tiket untuk masuk dalam gelanggang kehidupan. Ya, tiket. Selebihnya, tergantung bagaimana kita menggunakan tiket itu, apakah kita akan menggunakannya untuk masuk gelanggang dan bertanding, atau sekadar duduk di bangku penonton.Yang jelas, tiket itu memudahkan kita memasuki gelanggang. Meskipun tanpa tiket itu pun kita tetap bisa masuk, tapi dengan upaya yang jauh lebih sulit dibanding jika kita memiliki tiketnya.
Semua yang hal yang besar-besar dimulai dari lingkaran kecil dalam hidup kita. Bukan hanya tentang keluarga. Tapi tentang semua hal yang berhubungan dekat pada diri kita sehari-hari. Meja belajar kita, almari pakaian, kamar tidur, bahkan penataan barang di tas atau ransel kita, adalah bagian dari lingkaran kecil itu. Melakukan hal-hal positif, meskipun sederhana, seperti merapikan tumpukan buku di meja belajar, atau menghiasnya dengan pot bunga, akan memberikan nuansa positif pada pikiran kita, yang pada akhirnya akan menghidupkan mood kita untuk melakukan hal yang positif juga.
Bayangkan, jika suatu saat kita ingin menulis artikel. Pada saat membuka laptop, kita mendapati folder-folder di komputer kita “berserakan”. Penataan foldernya tidak rapi. Bahkan, kita sampai lupa dimana kita pernah menyimpan file artikel kita. Kondisi seperti itu pasti akan mengurangi mood kita untuk menulis. Mengisi waktu senggang untuk merapikan folder-folder di komputer adalah pekerjaan sederhana yang bisa “melapangkan” pikiran kita sehingga mood kita tetap terjaga. ***