Bicara tentang usia
adalah bicara tentang kesempatan untuk belajar. Semakin bertambah usia kita,
semakin bertambah pula waktu belajar kita. Perjalanan waktu mengajarkan
bagaimana kita harus berjalan membersamai roda kehidupan yang terus berputar.
Kadang roda itu berada di atas, kadang di bawah, kadang menemui jalan yang mudah,
kadang terjal dan berliku. Semua perjalanan itu pada akhirnya akan membentuk
pengalaman kita. Dan pengalaman adalah guru terbaik sepanjang masa. Semakin jauh
kita berjalan, semakin banyak pula pengalaman hidup yang terekam dalam diri
kita.
Oleh karenanya, semakin
bertambah usia kita, seharusnya semakin bertambah pula kebijaksanaan kita.
Bijaksana adalah ketika kita mampu bersikap adil, yaitu menempatkan segala
sesuatu pada tempatnya. Apa yang akan kita lakukan ketika ada anak kecil yang
menangis pada saat kita sedang konsentrasi membaca buku? Jika kita mengambil
sikap marah kepadanya, kemudian memarahi dan membentak anak tersebut karena
kita anggap mengganggu, maka kita belum bisa disebut sebagai orang yang
bijaksana. Mengapa? Karena kita belum mampu menempatkan kemarahan kita pada
tempatnya. Kita seharusnya menempatkan kemarahan kita pada perbuatan-perbuatan
tercela. Kita marah ketika melihat seseorang membuang sampah sembarangan. Kita
marah ketika melihat orang mengambil barang orang lain tanpa ijin. Sedangkan, tangisan
anak kecil bukanlah hal yang tercela. Tangisan anak kecil adalah bahasa lain
dari keinginan yang belum bisa disampaikannya dengan kata-kata. Seharusnya kita
bersikap kasih sayang kepadanya. Bukan justru memarahinya.
Setiap saat kita
bertemu dengan peristiwa-peristiwa baru, orang-orang baru, dan masalah-masalah
baru yang pada akhirnya melahirkan pengalaman baru. Semua pengalaman itu seharusnya mengasah jiwa
kita. Sehingga, semakin hari kita menjadi semakin bijaksana. Akan tetapi,
mengapa ada orang yang sudah berusia matang, namun sama sekali belum bijaksana?
Jawabannya adalah karena orang tersebut tidak mau mengambil pelajaran dari
pengalaman hidupnya. Orang tersebut tentu sudah banyak belajar. Namun Ia tidak
mau mengambil nilai-nilai yang dipelajarinya sebagai sebuah cara pandang yang mengubah
sikapnya. Padahal, kebijaksanaan lahir dari akumulasi proses belajar dan
mengambil pelajaran dari kehidupan yang kita lewati.
Ketika kita bersikap sombong
kepada orang lain, maka orang lain tidak akan senang kepada kita. Hal tersebut membuat
kita belajar bahwa ternyata sikap sombong akan menghasilkan penolakan. Artinya,
hukum yang sebaliknya juga berlaku; sikap ramah akan menghasilkan
penerimaan. Setelah mengetahui hukum
sebab-akibat tersebut, ada orang yang tetap sombong, ada yang mengambil
pelajaran lalu berubah sikap menjadi ramah. Orang pertama adalah orang yang
hanya belajar. Sedangkan orang kedua adalah yang mampu mengambil pelajaran dari
pengalaman yang dilewatinya. Kebijaksanaan lahir karena proses belajar dan
mengambil pelajaran. Oleh karena itu, sikap bijaksana tidak lahir secara
otomatis seiring bertambahnya usia kita. Ia lahir karena kita yang membuatnya
lahir.
Maka, pengalaman harus
benar-benar kita jadikan sebagai maha-guru. Agar perjalanan waktu selalu meninggalkan
jejak-jejak kebaikan. Jejak-jejak yang menjadi saksi bahwa kita selalu belajar
dan berbenah menjadi pribadi yang semakin baik dari hari ke hari. Agar semua
rangkaian peristiwa yang kita lewati selalu menjadi ilmu baru yang mengasah
kebijaksanaan kita. Sehingga, tidak ada hari yang kita lewati, kecuali hari itu
adalah hari yang membuat kita semakin baik pada hari berikutnya. Tidak ada
tahun yang kita lewati, kecuali tahun itu adalah tahun yang meningkatkan
kualitas diri kita pada tahun-tahun berikutnya. Kuncinya ada pada dua hal: mau
belajar, dan mengambil pelajaran dari apa yang kita pelajari. Agar perjalanan
usia kita tidak berlalu sia-sia. *** Sumber: Islamic Building: Konstruksi Dasar dalam Bangunan Studi Islam, Pustaka Senja 1, 205 | vol:
| issue : | 2018